Zaid dan 'Amr Menjadi Artis Ilmu Nahwu.

Zaid dan 'Amr Menjadi Artis Ilmu Nahwu.


Bagi yang pernah nyantren, khususnya di pesantren yang melesatrikan tradisi pengajaran kitab kuning, 
pasti tahu “Zaid” dan “Amr”. Ya, keduanya adalah sosok paling dikenal karena paling banyak disebut, utamanya dalam kitab-kitab gramatikal Arab atau nahwu, sebagai obyek permisalan.
Dalam kitab-kitab nahwu, seperti Jurumiyah, ‘imrithi, Alfiyah dan lain-lain, nama ( زَيْدٌ”)Zaid dan. ( عَمْرٌو)‘Amr bisa dikatakan sebagai selebiriti. عَمْرٌو زَيْدٌ
Bagaimana tidak dikatakan selebriti, keduanya sering disebutkan dalam berbagai contoh masalah-masalah nahwiyah.
Seperti dalam Bab Fa'I'll - قَامَ زَيْدٌ zaed Berdiri
Bab Mubtada Hobar ضُرِبَ عَمْرٌو Amr Di Pukul.

Dulu waktu masih awal awalan mondok , aku selalu penasaran  mengapa harus عَمْرٌو زَيْدٌ Zaid dan Amr yang sering dijadikan contoh. Terlebih kang عَمْرٌو selalu menjadi objek yang di pukul. ????
Alhamdulillah , setelah bebrapa bulan numoang tidur di Pondok,  ada salah satu Ustad yang menejlaskan bahwa. عَمْرٌو dan زَيْدٌ Zaid Dan Amr , jelas bahwa ini hanya sekadar contoh untuk lebih memberikan pemahaman yang mendalam terhadap para pemula dalam belajar tata bahasa Arab .

*Kang زَيْدٌ

Dalam Ilmu nahwu sendiri lafad. زَيْدٌ Zaid Bukan Tanpa alasan dan sebab, karena para ulama nahwu memakai nama zaidun mendapat barokah seperti nama zaidun itu sendiri. nama zaidun merupakan turunan kata atau dalam istilah santri yaitu musytaq dari akar kata Za, Ya, Da yg memiliki arti annumuw (bertambah), nama zaidun bagi para pencari ilmu diharapkan dengan nama tsb bertambah baginya ilmu dan keberkahan.


Siapa Zaid?

Zaid adalah satu-satunya nama sahabat Rasul yang disebut secara langsung oleh Alquran sebagai orang yang mendapat anugerah, tepatnya dalam surat al-Ahzab ayat 37: …falamma qadha “zaid” minha wathara…“Maka, ketika ‘Zaid’ telah menceraikan istrinya…” (dst.).
“Zaid” yang dimaksud adalah “Zaid bin Haritsah”, salah seorang sahabat Rasul, yang dalam kisahnya, adalah orang yang menceraikan istrinya, bernama Zainab binti Jahsy, untuk kemudian dinikahi oleh Rasul, atas titah Allah. Zaid ini begitu mencintai Rasul, hingga ia disebut “al-hubb” (cinta).
Nah, konon, nama “Zaid” yang kerap dijadikan permisalan dalam ilmu nahwu itu, terinspirasi dari sosok Zaid yang diceritakan Alquran itu. Tabarrukan dengan Alquran.
*Kang عَمْرٌو 
Nah...kenapa Amr dalam contoh sering di jadikan objek pukulan ?? Sperti contok ضُرِبَ عَمْرٌو amer di pukul

Ternyata  salah satu alasanya yaitu karna Amr Curi “Wawu”.
Saya ceritakan sedikit desas-desus tentang si Amr.
Kata “amr”, dalam bahasa aslinya, bahasa Arab, mesti ditulis dengan empat huruf hijaiyah: (. ع م ر و)ain”, “mim”, “ra . Khusus “wawu”, ia hanya huruf tambahan yang tak memiliki fungsi fundamental, selain penting sebagai penanda agar rangkaian huruf-huruf itu terbaca “amr”, bukan “umar”. Sebab, pembacaan “umar” telah menjadi “hak paten” nama Umar bin Khatab, salah seorang “Khalifah Empat”.


Dari manakah huruf (و) “wawu” tambahan itu berasal?

Ada cerita unik mengenai hal ini. Dalam kitab An-Nadharat karya Syaikh Musthafa Luthfi bin Muhammad Luthfi Al-Manfalti (w=1343) Juz 1 hlm 307, disebutkan bahwa konon ada salah seorang menteri dalam pemerintahan Daulah Utsmaniyah yaitu Daud Basya ingin belajar Bahasa Arab. Lalu dia mendatangkan salah seorang ulama untuk mengajarinya. Setiap kali sang guru menjelaskan I’rab Rafa’ dan Nashab atau fa’il dan maf’ul, ia mencontohkan dengan lafadz “Dharaba Zaidun ‘Amran”, yang berarti Zaid memukul Amr. Sang menteri lalu bertanya:

“Apa kesalahan Amr sampai-sampai Zaid memukulnya tiap hari?, Apakah Amr punya kedudukan lebih rendah dari pada Zaid sehingga Zaid bebas memukulnya, menyiksanya dan Amr tidak bisa membela dirinya?”
Sang menteri menanyakan ini sambil menghentakkan kakinya ke tanah dengan marah-marah.
Gurunya menjawab :"Tidak ada yang memukul dan tidak ada yang dipukul!. Ini hanya contoh saja yang dibuat ulama nahwu untuk lebih memudahkan untuk belajar kaidah-kaidah nahwu”.
Rupanya jawaban ini tidak memuaskan hati sang menteri. Dia marah, lalu ia penjarakan ulama yang telah mengajarinya itu.

Kemdian ia menyuruh orang mencari ulama nahwu lain. Ia menanyakan pertanyaan tersebut kepada mereka. Jawabannya sama, hingga banyak di negerinya terpenjara akibat jawaban yang tidak dapat memuaskan hatinya. Penjara penuh dengan para ulama dan madrasah-madrasah semakin sunyi.
Kejadian ini menjadi pembahasan di mana-mana, hingga sang menteri mengutus anak buahnya untuk menjemput para ulama-ulama ahli Nahwu dari Bagdad. Mereka datang menghadiri udangan menteri dipimpin seorang ulama yang paling alim, cerdas, cakap, dan cerdik.

Di hadapan para ahli Nahwu Baghdad ini, Daud Basya bertanya lagi:
“Apa kesalahan Amr hingga ia selalu dipukul Zaid?”
Ulama itu menjawab:
إنه هجم على اسم مولانا الوزير واغتصب منه الواو فسلط النحويون عليه زيدا يضربه كل يوم جزاء وقاحته وفضوله
يشير إلى زيادة واو عمرو وإسقاط الواو الثانية من داود في الرسم
“Kesalahan Amr adalah karena ia telah mencuri huruf wawu yang seharusnya itu milik Anda”.
Ia menunjuk adanya huruf wawu dalam lafadz Amr setelah huruf ro’. 
Ia melanjutkan jawabannya: “Dan huruf wawu ini lah yang saharusnya ada dalam lafadz Daud. Lihat! Wawu lafadz Daud hanya satu, yang seharusnya ada dua!”.
Selanjutnya ia berkata: “Oleh sebab itu, para ulama nahwu memberikan wewenang kepada Zaid untuk selalu memukul Amr, sebagai hukuman atas perbuatannya itu!”.

Mendengar jawaban itu, Sang menteri benar-benar puas dan memuji ulama tersebut. Ia menawarkan hadiah, apa saja yg kamu kehendaki. Namun ulama itu menjawab:
“Aku hanya memohon agar para ulama yang anda penjarakan segera dibebaskan”.
Sang Menteri mengabulkannya dan memberikan hadiah kepada para ulama bagdad tersebut. Wallahu A’lam.
Aslinya lafad Dawwud adalah
داوود

Kata “dawud”, dalam bahasa aslinya ditulis dengan huruf Arab atau hijaiyah, yaitu “dal”, “alif”, “wawu”, “dal”. Dalam bacaan Alquran, sesuai dengan ilmu tajwid, “wawu” berharakat “dhammah” dalam kata “daud” itu mesti dibaca panjang satu “alif” atau tiga “harakat” atau yang disebut dengan hukum “mad thabi’i”. Dalam teorinya, hukum “mad thabi’i” berlaku jika dalam satu kata, ada harakat “fathah” bertemu sesudahnya dengan huruf “alif”, atau harakat “kasrah” dengan huruf “ya”, atau harakat dhammah dengan huruf “wawu”.

Nah, pada kata “dawud” (dal, alif, wawu, dal), huruf “wawu” yang berharakat “dhammah” di situ mesti dibaca panjang satu “alif” atau satu “harakat” sebagai “mad thabi’i”, meski sesudahnya tak terlihat ada huruf “wawu” – sebagaimana disyaratkan hukum mad itu. “Wawu” di sana telah hilang dicuri si Amr.

Maka, pada setiap kata “dawud” di dalam Alquran, setidaknya yang dengan “rasm utsmani”, selalu ditambahkan “wawu” kecil sesudah huruf “wawu” pokok, sebagai penanda agar “wawu” pokok itu dibaca panjang.
Terimakasih sudah mampir
Semoga bertambah dan semakin luas ilmunya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hikmah dibalik Gerakan Shalat